Di tengah teror, pembunuhan, pemerkosaan dan kekacauan yang telah terjadi di Aleppo ada suatu kisah sedih yang mendalam. Satu kisah yang muncul tentang sebuah kelompok pejuang pemberani dari brigade pejuang kecil yang semua wafat karena melindungi kota mereka dan menyerahkan hidup mereka bagi Allah (Swt). Ini, secara singkat, adalah kisah tentang mereka. Sebuah kisah tentang keberanian yang besar. Semoga Allah menerima syahidnya mereka dan meningkatkan ribuan pejuang lain seperti mereka.
Utsman Badar (aktivis Hizbut Tahrir Australia) menulis tentang kejadian ini:
Di mana ada kematian, di situ ada kehidupan.
Dimana ada kegelapan, di situ ada cahaya.
Di mana ada cerita horor, di situ ada legenda.
Beberapa brigade yang seharusnya ditempatkan di Aleppo untuk melindungi penduduk pindah dalam beberapa pekan terakhir ke wilayah lain mengikuti perintah dari negara-negara sponsor mereka (Turki, Saudi, dll). Mereka salah perhitungan atas racun ketergantungan politik yang bernoda. Suatu kisah bagi lain waktu.
Brigade-brigade lain berdiri dengan kokoh, karena mereka tahu bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melindungi penduduk Aleppo, apa pun caranya. Kesetiaan mereka adalah murni karena Allah dan Rasul-Nya (Saw).
Tadi malam, ketika terjadi invasi atas Aleppo oleh para preman Assad yang semakin sering, orang-orang ini – orang-orang seperti ini adalah para pria sejati! – memberi sumpahnya untuk tetap berdiri dan melawan, mereka tahu benar bahwa kematian menunggu mereka. Dan demikianlah yang terjadi.
Brigade Rayat al-Islam adalah salah satu contohnya, yang dipimpin oleh Abu al-Jud (secara harfiah artinya “bapak yang murah hati”). Seluruh anggota brigade (lebih dari 100 pejuang) menjadi syahid dalam pertempuran di distrik Kalasa di Aleppo timur. Mereka syahid dalam perjalanan melakukan perbuatan yang paling dicintai Allah: peperangan di jalan Allah, dalam membela orang-orang yang tidak bersalah. Syuhada, dengan menambahkan darah mereka dengan darah yang telah mengairi negeri yang suci al-Sham abad demi abad. Darah yang mulia untuk tanah yang mulia.
Jantung terasa lepas karena kehilangan jiwa-jiwa yang mulia, air mata mengalir. Tapi bukan atas mereka kita seharusnya menangis, tapi lebih atas diri kita sendiri. Untuk mereka yang telah pergi mendahului setelah nama mereka terukir dalam gulungan lembaran orang-orang yang paling dekat dengan Yang Maha Penyayang. Mereka telah pergi menghidupkan kembali kenangan atas Malik ibn al-Nadhr (ra) dan pemanah yang tetap bersamanya di Bukit Uhud. Sebuah akhir kehidupan yang mulia.
Utsman Badar (aktivis Hizbut Tahrir Australia) menulis tentang kejadian ini:
Di mana ada kematian, di situ ada kehidupan.
Dimana ada kegelapan, di situ ada cahaya.
Di mana ada cerita horor, di situ ada legenda.
Beberapa brigade yang seharusnya ditempatkan di Aleppo untuk melindungi penduduk pindah dalam beberapa pekan terakhir ke wilayah lain mengikuti perintah dari negara-negara sponsor mereka (Turki, Saudi, dll). Mereka salah perhitungan atas racun ketergantungan politik yang bernoda. Suatu kisah bagi lain waktu.
Brigade-brigade lain berdiri dengan kokoh, karena mereka tahu bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melindungi penduduk Aleppo, apa pun caranya. Kesetiaan mereka adalah murni karena Allah dan Rasul-Nya (Saw).
Tadi malam, ketika terjadi invasi atas Aleppo oleh para preman Assad yang semakin sering, orang-orang ini – orang-orang seperti ini adalah para pria sejati! – memberi sumpahnya untuk tetap berdiri dan melawan, mereka tahu benar bahwa kematian menunggu mereka. Dan demikianlah yang terjadi.
Brigade Rayat al-Islam adalah salah satu contohnya, yang dipimpin oleh Abu al-Jud (secara harfiah artinya “bapak yang murah hati”). Seluruh anggota brigade (lebih dari 100 pejuang) menjadi syahid dalam pertempuran di distrik Kalasa di Aleppo timur. Mereka syahid dalam perjalanan melakukan perbuatan yang paling dicintai Allah: peperangan di jalan Allah, dalam membela orang-orang yang tidak bersalah. Syuhada, dengan menambahkan darah mereka dengan darah yang telah mengairi negeri yang suci al-Sham abad demi abad. Darah yang mulia untuk tanah yang mulia.
Jantung terasa lepas karena kehilangan jiwa-jiwa yang mulia, air mata mengalir. Tapi bukan atas mereka kita seharusnya menangis, tapi lebih atas diri kita sendiri. Untuk mereka yang telah pergi mendahului setelah nama mereka terukir dalam gulungan lembaran orang-orang yang paling dekat dengan Yang Maha Penyayang. Mereka telah pergi menghidupkan kembali kenangan atas Malik ibn al-Nadhr (ra) dan pemanah yang tetap bersamanya di Bukit Uhud. Sebuah akhir kehidupan yang mulia.