Arrahmah.Com |
- Aliansi Mujahidin kembali merebut wilayah dari tangan rezim Nushairiyah di barat laut Suriah
- Buldoser "Israel" ratakan lahan pertanian warga Palestina di Gaza
- Perjuangan panjang jilbab di Indonesia
- Wakil Ketua DPR: Kalau hanya sibuk bagi-bagi kartu, itu tugas ketua RT
- Petugas haji dituntut bisa bahasa Arab
- Tokoh perempuan Asia Tenggara bahas solusi perempuan dan anak-anak Rohingya
- Seorang pejuang Hamas meninggal dunia dalam kecelakaan di sebuah terowongan
- Arab Saudi katakan serangan Syi'ah Houtsi di perbatasan berhasil digagalkan
Aliansi Mujahidin kembali merebut wilayah dari tangan rezim Nushairiyah di barat laut Suriah Posted: 06 Jun 2015 04:20 PM PDT IDLIB (Arrahmah.com) - Aliansi Mujahidin di barat laut Suriah yang dikenal dengan Jaisyul Fath kembali merebut wilayah dari tangan rezim Nushairiyah, memperkuat posisi mereka di perbatasan dua provinsi utama, ujar kelompok pemantau pada Sabtu (6/6/2015). Jaisyul Fath telah mendapatkan serangkaian keuntungan di provinsi Idlib, ujar Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), kelompok pemantau perang Suriah yang berbasis di Inggris seperti dilaporkan AFP. Mujahidin merebut posisi utama militer, kota Muhambel dan beberapa desa di antara Jisr al-Shughur dan Ariha, dua kota kunci yang saat ini telah berada di bawah kendali Mujahidin. Jabhah Nushrah di akun Twitter nya menyebutkan daftar nama-nama desa yang telah dibebaskan. Rezim Nushairiyah mengakui kerugian yang mereka alami dan sumber militer yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada AFP bahwa "tentara dievakuasi dari beberapa situs militer di seluruh kota Muhambel di provinsi Idlib". "Mereka dipindahkan ke lokasi yang baru dan lebih cocok untuk pelaksanaan misi tempur berikutnya," klaim laporan kantor berita SANA, yang merupakan corong propaganda rezim. Pasukan rezim Nushairiyah telah kehilangan kendali atas hampir semua wilayah di povinsi Idlib sejak Jaisyul Fath merebut ibukota provinsi pada akhir Maret lalu. (haninmazaya/arrahmah.com) |
Buldoser "Israel" ratakan lahan pertanian warga Palestina di Gaza Posted: 06 Jun 2015 04:05 PM PDT GAZA (Arrahmah.com) - Sejumlah unit militer "Israel" termasuk buldoser, pada Jum'at (5/6/2015) menyusup ke pemukiman Shuja'eyya di timur Gaza dan meratakan sejumlah lahan pertanian, lansir IMEMC. Saksi mata mengatakan kepada PNN bahwa sedikitnya empat buldoser "Israel" memasuki lahan pertanian di timur Shuja'eyya. Menurut klaim "Israel", ini merupakan respon atas serangan roket beberapa waktu lalu yang ditembakkan dari Gaza. Petani Gaza selama ini sering menjadi target serangan pasukan Zionis. Sebelumnya pada Rabu (3/6), seorang petani Gaza terluka karena tembakan yang dilepaskan oleh tentara Zionis di kota perbatasan Khuza'a di timur Khan Younis, selatan Jalur Gaza. (haninmazaya/arrahmah.com) |
Perjuangan panjang jilbab di Indonesia Posted: 05 Jun 2015 09:38 PM PDT Oleh Andi Ryansyah* (Arrahmah.com) - Berbicara mengenai jilbab di Indonesia, terutama mengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Tak banyak tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumber-sumber sejarah yang menyingkap perjalanan jilbab di tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika berkaitan dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun mengingat pentingnya jilbab sebagai bagian dari syariat Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini, tulisan ini akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air. Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab telah banyak ulama-ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci, disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama tersebut. Kesadaran untuk menutup aurat sendiri, pastinya dilakukan setidaknya ketika perempuan sedang sholat . G.F Pijper mencatat, istilah 'Mukena', setidaknya telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda. Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1] Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19, pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.[2] Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk aturan pemakaian jilbab. Bukan hanya jilbab, aturan ini bahkan mewajibkan wanita untuk memakai cadar[3] Akibat dakwah Islam yang begitu intens di Minangkabau, Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga syariat Islam meresap ke dalam tradisi dan adat masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk pakaian adat Minangkabau yang cenderung tertutup. Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat Aceh. Adat Aceh menetapkan, "orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri." [4] Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yang di panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.[5] Menjelang abad ke 20, teknologi cetak yang telah lazim di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban perempuan untuk berjilbab di masyarakat. Sayyid Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya 'Lima Su'al Didalam Perihal Memakai Kerudung' yang terbit pada Oktober 1899. [6] Tidak hanya perkembangan teknologi cetak, gerakan reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari Mesir turut mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah satunya yang terdapat di Sumatera Barat. Gerakan yang dipelopori oleh 'Kaoem Moeda' ini menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[7] Ayah Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya, Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat. [8] Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul "Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera", bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting untuk menunjukkan (maaf) pangkal payudara. [9] Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap. Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang. Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,"Lunga nang lor plengkung[10], bisa jadi kaji" (pergi ke utara plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada murid-muridnya, "Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing ora betah bosok ilate," (Hantu tidak menjilat, setan tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya). Upaya menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan. Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan bekerja, semisal menjadi dokter, ia tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.[11] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan tangan.[12] Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.[13] Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala wanita harus ditutup. [14] Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda. Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah dilempari batu.[15] Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam. "Berhubung dengan jang dibilang aurat dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja, teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja (dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan merobah pendiriannja itoe." [16] Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini, HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[17] Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU.[18] Dalam keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2 Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya.[19] Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai menggerakkan dakwah pemakaian 'berguk' bagi wanita. 'Berguk' berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita. Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye pemakaian'Berguk' surut dengan sendirinya. Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah –organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini[20], Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[21] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, "Rambut kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan, sebab termasuk aurat."[22] Perjuangan berat di masa Orde Baru Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer. Militer, dalam hal ini angkatan darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa.[23] Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan.[24] Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soehato dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru. [25] Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri. Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu. Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri di sekolah memakai jilbab. Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan pelajar muslimah? [26] Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68 untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau "macam-macam." SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman "Bapak besok akan mati!" Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[27] Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/ P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak lama setelah kemunculan SK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciri-ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.[28] Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini. [29] Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah. Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052. Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa "aksi jilbab" yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik. Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka "mewakili gerakan tertentu." Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab. Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya, "Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah." Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala "robot" sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, "Saya hanya melaksanakan perintah atasan.", kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain sebagainya. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan, Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu "Pedoman", bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria." Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk 'mengharamkan' pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[30] Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya "Musyawarah Ukhuwah Islamiyah" yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan. Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, "Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan."Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk "mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran." Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul "Larangan Buat Si Kudung" walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab. Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.[31] Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada. Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu. Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN. Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah "seragam khas." Dalam peraturan tersebut, dinyatakan "Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV." Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya. [32] Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia. Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses bertahap ini berbeda-beda di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah untuk berpakaian lebih tertutup. Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan ini. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat. Terus bertambahnya arus umat dan ulama yang pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab. Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian, yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita saat ini. Melihat situasi saat ini, perjuangan jilbab di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Pemakaian Jilbab bagi muslimah dalam TNI sepatutnya tidak perlu menjadi kekhawatiran pihak mana pun. Terlebih, Kepolisian Republik Indonesia telah memulainya. Tentu kita tidak bisa hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merebut kemerdekaan berjilbab di negeri mayoritas muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari TNI dan dukungan besar ormas-ormas Islam, MUI, dan media massa, dan segenap umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu. Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Referensi [1] Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010, hlm.69 [2] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 63 [3] Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka:Jakarta, 1964, hlm.23 [4] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh:Aceh, 1970, hlm 152-153 [5] Pelras, Christian, Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi, Archipel, Volume 29, 1985, hlm107-135. [6] Ali Tantowi, Ibid, hlm.71 [7] Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau, Nurul Islam: Jakarta, 1974, hlm. 49 [8] Ali Tantowi, Ibid, [9] Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192 [10] Lokasi rumah KH. Ahmad Dahlan berada di selatan dari perempatan Jalan Kauman. Di setiap sudut jalan terdapat gerbang yang dihiasi plengkung. [11]Ali Tantowi, Ibid, hlm. 71 [12] PP Muhammadijah Madjlis 'aisjijah, Tuntunan Mencapai Isteri Islam Jang Berarti Hasil dari Putusan Kongres Muhammadijah Bahagian 'Aisjijah ke-26 di Jogjakarta [13] Majalah Aliran Baroe No.36 Tahun Juli 1491 hlm.10 [14] Majalah Al-Lisaan No.2 Madjallah Boelanan Orgaan Persatoean Islam, Toedoeng Kepala, 1935, hlm. 11-16 [15] Ali Tantowi, Ibid, hlm.74 [16] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII 11/12 t/m 16/17 Juni tahun 1938 di Banten, hlm. 55-56 [17] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII, Ibid, hlm. 45-46 [18] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII , Ibid, hlm. 56 [19] Pengantar Dr. KH. MA Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Khalista:Surabaya, 2011, hlm.131 [20] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 79 [21] Majalah Aliran Baroe No. 17 Desember 1939 hlm.11 dan 15 [22] Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 diterbitkan Pengurus Besar Muhammadiyah. Nafakah dari Hoofd Comite Congres Mohammadijah Djokjakarta, hlm. 13-14 [23] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991, Al-I'TISHOM:Jakarta, 2001, hlm. 17 [24] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18 [25] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas NuuN:Depok, 2011, hlm. 54 [26] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18-19 [27] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Ibid, hlm. 18-20 [28] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.15 [29] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm. 31 [30] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.31-32 [31] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.34-36 [32] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.73-75 (adibahasan/jejakislam/arrahmah.com) |
Wakil Ketua DPR: Kalau hanya sibuk bagi-bagi kartu, itu tugas ketua RT Posted: 05 Jun 2015 08:09 PM PDT YOGYAKARTA (Arrahmah.com) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengingatkan Presiden Jokowi agar lebih banyak memikirkan bangsa dan negara, bukan hanya sibuk membagi-bagi kartu. "Presiden Jokowi harus lebih sibuk memikirkan bangsa ke depan, jangan sibuk membagi-bagi kartu saja," kata Fadli Zon saat membuka press gathering bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Yogyakarta, Jumat (5/6) malam, dikutip dari Harianterbit. Lebih lanjut Fadli Zon mengingatkan bahwa berbagai indikator yang ada menunjukkan bidang ekonomi sangat mengkhawatirkan. "Pemerintah selalu bilang optimis, padahal jika dilihat berbagai indikator yang ada sangat mengkhawatirkan. Saya khawatir jika target-target pemerintah nantinya tidak tercapai maka memunculkan situasi-situasi dadakan yang berbahaya," kata Fadli. "Karena itu, Presiden Jokowi sudah seharusnya lebih serius memikirkan berbagai persoalan bangsa," tambah politisi Partai gerindra itu. "Kalau hanya sibuk bagi-bagi, itu tugas ketua RT, kasihan nanti para ketua RT jadi nggak punya kerjaan," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut. (azm/arrahmah.com) |
Petugas haji dituntut bisa bahasa Arab Posted: 05 Jun 2015 07:19 PM PDT JAKARTA (Arrahmah.com) - Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, Abdul Djamil kembali mengingatkan kepada seluruh petugas PPIH Arab Saudi untuk semangat mempelajari bahasa Arab. "Jangan pernah menyerah untuk belajar bahasa Arab. Minimal, setelah pembekalan di Pondok Gede ini, petugas haji bisa belajar bahasa Arab. Sebab, di sana itu banyak petunjuk-petunjuk yang menggunakan bahasa Arab. Meski ada juga yang berbahasa Inggris tapi lebih banyak memakai bahasa Arab," pesan Abdul Djamil di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jum'at (5/6/2015) sore, lansir laman Kemenag. Caranya, kata dia, dahulukan mempelajari bahasa Arab yang mudah-mudah dahulu atau yang ada kaitannya dengan kosa kata penting saat melaksanakan ibadah haji. Media pembelajaran bermacam-macam. Yang lebih murah bisa belajar bahasa Arab dengan kamus bahasa Arab secara online. "Sekarang kalau petugas haji buta sama sekali dengan bahasa Arab maka akan sangat aneh kalau jamaah haji bisa protes dalam bahasa Arab. Istilahnya begini, bagaimana bisa jamaah haji protes dalaam bahasa arab, wong petugas hajinya saja tidak bisa berbahasa Arab. Meski, dari hasil pertemuan saya dengan seluruh muasasah diperoleh informasi bahwa calon jamaah haji Indonesia dikenal sangat teratur alias tidak pernah neko-neko, namun saya berharap jamaah haji Indonesia tahun ini dapat menyampaikan keluhannya kepada Kementerian Agama atas penyelenggaraan haji nanti," papar Abdul Djamil. (azm/arrahmah.com) |
Tokoh perempuan Asia Tenggara bahas solusi perempuan dan anak-anak Rohingya Posted: 05 Jun 2015 06:36 PM PDT KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) - Hari ini, Sabtu 6 Juni 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia, Divisi Muslimah di Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir akan menyelenggarakan pertemuan tokoh perempuan dari seluruh Asia Tenggara untuk membahas solusi atas penderitaan kaum perempuan dan anak-anak Rohingya yang sangat menyedihkan. Dalam rilisnya kepada media ini, Dr. Nazreen Nawaz Direktur Divisi Muslimah di Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir menyebut acara yang bertajuk, "Rohingya: Tanpa Kewarganegaraan di Lautan atau Bagian dari Ummat Terbaik" ini, merupakan bagian dari kampanye global yang telah diluncurkan untuk membangun perhatian internasional terhadap penindasan, kekerasan, eksploitasi, dan kebijakan pemerintah represif yang terus memburuk dan menghebohkan yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak Rohingya Myanmar hanya karena mereka adalah Muslim. Kondisi mengerikan ini telah memaksa ribuan dari mereka melarikan diri dari negara itu untuk mencari perlindungan. Orasi-orasi akan disampaikan oleh anggota Muslimah Hizbut Tahrir dari Malaysia, Indonesia, Australia, dan dunia Arab. Acara ini juga akan mencakup testimony dari perempuan Rohingya serta Muslimah dari Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia mengenai nasib mengerikan orang-orang yang dianiaya, diabaikan, dan tanpa kewarganegaraan ini. Pertemuan ini akan didahului dengan konferensi pers dan akan ditayangkan melalui live-streaming kepada audiens internasional. Selain menyoroti penderitaan sekelompok manusia dalam skala yang tak terbayangkan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak Rohingya, para pembicara juga akan menyoroti rezim dan sistem dunia Muslim nasionalis dan kapitalis yang tidak manusiawi, yang telah memperlakukan kaum Muslim yang putus asa tersebut dengan sedemikian keji dan buruknya. "Mereka telah memalingkan wajah dari genosida terhadap Rohingya;telah gagal untuk menyelamatkan ribuan migran kelaparan dan mengalami dehidrasi dan penyakit karena terdampar di tengah lautan;juga telah menolak untuk memberikan perlindungandan hak-hak dasar memadai kepada mereka. Pemerintahan yang tak berperasaan ini malah enggan untuk mengambil sekedar satu langkah demi menyelamatkan saudara-saudara mereka dari penindasan brutal yang dilakukan rezim diktator Myanmar yangtak punya belas kasihan; bahkan sekedar memutus hubungan diplomatik dengan rezim pembunuh ini pun tidak mereka lakukan," tulis rilis HTI. Acara ini juga akan mempertanyakan apakah harapan atau kepercayaan bisa disandarkan kepada ASEAN atau hukum-hukum dan solusi masyarakat internasional–yang telah merangkul rezim kriminal Burma— untuk menyelesaikan krisis ini. Kenyataannya, pembicaraan, konferensi, dan misi-misi diplomatik mereka yang sia-sia telah terbukti berulang kali hanyalah upaya yang membuang waktu yang tidak mencapai hasil apapun bagi Muslim Myanmar atau kaum Muslim tertindas di Suriah, Afrika Tengah, Cina, dan di tempat-tempat lain. Muslimah HTI menyebut, pertemuan ini akan membahas tindakan-tindakan segera yang harus diambil oleh pemerintahan dunia Muslim untuk menyelamatkan kaum perempuan dan anak-anak Rohingya, menekankan ikatan ukhuwah Islam yang mewajibkan kaum Muslim untuk memberikan perlindungan tanpa keraguan atau penundaan lagi bagi saudara-saudara mereka yang telah benar-benar membutuhkan bantuan mereka, karena Nabi Muhammad (saw) bersabda, «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ، كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ» "Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain. Dia tidak menzaliminya dan tidak juga mengabaikannya. Dan barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya." Selain itu, para pembicara juga akan menjelaskan mengapa penegakkan segera negara Khilafah yang berdasarkan metode kenabian –sebuah sistem yang benar-benar mewakili kepentingan Islam dan kaum Muslim— yang akan memberikan solusi konkret dan permanen atas penindasan kaum Muslim di Myanmar dan secara global, dengan menghapus batas-batas kolonial dipaksakan antara negeri-negeri kaum Muslim serta dengan memberikan keamanan, tempat tinggal, dan kehidupan yang bermartabat bagi kaum Muslim yang teraniaya. Acara ini akan diselenggarakan pada Sabtu 6 Juni 2015 pukul 15.00 waktu Malaysia (08.00 GMT) di Hotel Nouvelle, KM 8, Kuala Lumpur Seremban Highway Sungai Besi, 43300 Kuala Lumpur, Malaysia. (azmuttaqin/arrahmah.com) |
Seorang pejuang Hamas meninggal dunia dalam kecelakaan di sebuah terowongan Posted: 05 Jun 2015 05:56 PM PDT GAZA (Arrahmah.com) - Seorang anggota sayap bersenjata gerakan Islam Palestina Hamas tewas pada Jum'at (5/6/2015) ketika sebuah terowongan penyelundupan di Jalur Gaza runtuh di dekat perbatasan "Israel", ujar sumber medis dan pernyataan oleh Brigade Izzudin Al Qassam. Sumber tidak mengatakan mengapa terowongan yang terletak di timur Shejaiya di utara Gaza tersebut runtuh. Sebuah pernyataan dari Brigade Izzudin Al Qassam, sayap bersenjata Hamas, mengatakan anggotanya tewas ketika "terowongan perlawanan" runtuh, seperti dilaporkan AFP. Seorang juru bicara kementerian kesehatan di Gaza mengatakan dua orang lainnya terluka cukup parah dalam insiden itu. Hamas telah menciptakan jaringan terowongan bawah tanah yang memungkinkan perpindahan senjata dan pejuang di seluruh wilayah Palestina di pesisir pantai. Beberapa meluas hingga ke "Israel" dan digunakan untuk melakukan serangan perang selama Juli-Agustus 2014 dengan "Israel". Tentara Zionis melakukan banyak hal untuk menghancurkan jaringan terowongan tersebut selama perang 50 hari kemarin, namun mengatakan bahwa kelompok "militan" Gaza kembali bekeja membangun infrastruktur tersebut. Pemerintah junta Mesir juga telah menghancurkan sekitar 1.600 terowongan di perbatasan Gaza yang digunakan terutama untuk menyelundupkan barang kebutuhan sehari-hari ke daerah Palestina yang diblokade dengan ketat oleh negara Zionis "Israel". (haninmazaya/arrahmah.com) |
Arab Saudi katakan serangan Syi'ah Houtsi di perbatasan berhasil digagalkan Posted: 05 Jun 2015 05:37 PM PDT JIZAN (Arrahmah.com) - Arab Saudi mengatakan bahwa mereka telah berhasil mencegah serangan oleh milisi yang bersekutu dengan Syi'ah Houtsi di provinsi Jizan yang berbatasan dengan Yaman, menurut laporan media pemerintah Saudi. Puluhan orang bersenjata, diyakini anggota Garda Republik, unit militer yang loyal terhadap mantan diktator Yaman Ali Abdullah Saleh, tewas dalam serangan gagal pada Jum'at (5/6/2015) yang menurut sumber keamanan Saudi adalah korban tewas Angkatan bersejata Saudi mengatakan salah satu tentara mereka tewas karena luka yang diderita dalam serangan itu. Seorang juru bicara untuk Garda Nasional Saudi, Kapten Nasser bin Khaled al-Atawi tewas di Najran, tanpa menyebutkan penyebabnya. Insiden ini diyakini telah dimulai ketika pasukan Houtsi dan unit tentara yang setia kepada Saleh berusaha untuk menyusup ke perbatasan di Al Khouba. Milisi tersebut meluncurkan sejumlah serangan roket ke posisi militer Saudi sebelum tentara Saudi membalas dengan tembakan meriam dan dukungan dari helikopter Apache. Bala bantuan milisi Syi'ah Houtsi yang masih berada di wilayah Yaman juga menjadi sasaran selama pembalasan. Televisi Al-Masirah yang menjadi pendukung Syi'ah Houtsi menayangkan video yang menunjukkan militan bergerak menuju menara pengawas Saudi dan menembakkan roket. Perkembangan pada Jum'at (5/6) terjadi sehari setelah Houtsi, sekutu Iran, mengklaim setuju untuk melakukan pembicaraan damai yang didukung PBB di Jenewa yang rencananya akan dilaksanakan pada 14 Juni mendatang. (haninmazaya/arrahmah.com) |
You are subscribed to email updates from Arrahmah.com To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |