Arrahmah.Com

Arrahmah.Com

Link to Arrahmah.com

Lagi, serangan milisi Syi'ah Houtsi memukul Saudi, satu warga dilaporkan terbunuh

Posted: 12 Jun 2015 04:19 PM PDT

Seorang tentara Saudi berjaga-jaga di wilayah perbatasan, Jizan. (Foto: Reuters)

JIZAN (Arrahmah.com) - Seorang warga Saudi tewas dan satu lainnya terluka di dekat perbatasan Yaman pada Jum'at (12/6/2015) oleh tembakan dari pasukan Syi'ah Houtsi dan sekutu mereka, ujar pasukan pertahanan sipil Saudi seperti dilaporkan Reuters.

Penembakan terjadi setelah shalat Jum'at berlangsung di mana sebagian besar jamaah telah meninggalkan Masjid di daerah perbatasan di barat daya Jizan. Beberapa bagian Masjid rusak dalam serangan, ujar sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor berita resmi Saudi, SPA.

Aliansi negara-negara Teluk telah melancarkan kampanye udara terhadap milisi Syi'ah Houtsi dan unit tentara yang loyal kepada mantan diktator Yaman, Ali Abdullah Saleh, sejak 26 Maret dalam apa yang mereka katakan sebagai upaya untuk mengembalikan presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi ke kekuasaan.

Pasukan pro-Hadi sendiri terlibat baku tembak di darat dengan milisi Syi'ah Houtsi sejak aliansi Arab memulai operasi militernya. (haninmazaya/arrahmah.com)

Operasi Mujahidin IIA tewaskan dan lukai 26 pasukan musuh di Sang Atish

Posted: 12 Jun 2015 04:30 AM PDT

CGelDeIUgAA86bY

AFGHANISTAN (Arrahmah.com) - Mujahidin Imarah Islam Afghanistan (IIA) di distrik Sang Atish wilayah Kafchain melancarkan serangan sepanjang hari pada Selasa (9/6/2015) terhadap konvoi musuh yang oleh Mujahidin juga telah dipukul mundur 2 hari sebelumnya, lansir Voice of Jihad.

Mujahidin secara bersamaan meluncurkan serangan terhadap posisi musuh di daerah itu, menduduki 2 pos pemeriksaan polisi sementara. Menurut informasi awal, total ada 15 tentara musuh yang tewas dan 11 lainnya luka-luka.

Disebutkan bahwa setengah dari pasukan konvoi melarikan diri sementara separuh lainnya berada di bawah pengepungan dengan bentrokan intens yang terus berlangsung. Hal ini mendorong musuh untuk memanggil helikopter untuk dukungan mereka.

Para petinggi mujahidin mengatakan bahwa sebuah tabung mortir musuh, 2 senjata mesin PKM, 2 peluncur RPG, 3 senapan dan peralatan lainnya juga disita dalam pertempuran itu, sementara sebuah truk pickup musuh dibakar setelah disita.

(banan/arrahmah.com)

Quebec mengusulkan RUU baru pelarangan cadar

Posted: 12 Jun 2015 03:26 AM PDT

niqab

QUEBEC (Arrahmah.com) - Masalah identitas agama kembali menjadi isu utama, pemerintah Quebec mengusulkan RUU baru yang menyerukan pelarangan cadar di pelayanan publik, dimana usulan ini dikritik oleh Muslim Kanada karen hal itu bisa mempemperkuat stereotip negatif tentang Muslim.

"Hal ini secara terus-menerus hadir dalam wacana publik imej perempuan yang menutupi wajah mereka. Segera setelah imej itu muncul di media, orang-orang bereaksi terhadap hal itu," Amira Elghawaby, Koordinator Hak Asasi Manusia di Dewan Nasional Muslim Kanada, mengatakan kepada Montreal Gazette, sebagaimana dilansir oleh onislam, Jum'at (12/6/2015).

"Ini memperkuat pandangan bahwa Muslim asing dengan budaya ini. Tapi mereka adalah para dokter, wartawan, dan para ilmuwan yang ikut terlibat dalam masyarakat," tambahnya.

RUU baru itu diajukan pada Rabu (10/6/2015) ke Dewan Nasional.

Meskipun mengkritisi RUU tersebut, Elghawaby mengatakan bahwa RUU itu masih menyisakan ruang untuk pengecualian.

Elghabawy mengatakan bahwa isu tentang Muslimah yang memakai cadar telah menjadi pembicaraan selama bertahun-tahun, meskipun Muslimah yang mengenakan cadar berjumlah sedikit.

Sebuah studi memperkirakan ada sekitar 80 perempuan di Ontario yang mengenakan cadar, tetapi tidak ada data yang sama bagi Muslimah yang memakai cadar di Quebec.

Muslim membentuk sekitar 2,8 persen dari 32,8 juta penduduk Kanada, dan Islam adalah agama nomor satu non-Kristen di negara Amerika utara itu.

Meskipun memiliki penduduk Muslim terbesar kedua di Kanada, Quebec merupakan salah satu provinsi yang paling Islamophobia di negara ini, di mana ummat Islam menghadapi berbagai jenis diskriminasi dan rasisme.

(ameera/arrahmah.com)

Mujahidin IIA berhasil bebaskan 17 desa di Sozma Qala

Posted: 12 Jun 2015 03:15 AM PDT

taliban

AFGHANISTAN (Arrahmah.com) - Alhamdulillah, Mujahidin Imarah Islam Afghanistan (IIA) berhasil membebaskan 17 desa di distrik Sozma Qala di provinsi Saripul utara pada Senin (8/6/2015).

Setelah kemenangan ini, sebanyak 17 milisi Arbaki dari sebuah pos pemeriksaan menyatakan bertaubat atas segala kesalahan mereka dan menyerahkan diri pada waktu senja hari Selasa, lansir Voice of Jihad.

Mereka yang bertaubat menyatakan bahwa mereka bersumpah untuk tidak pernah bekerja dengan rezim antek lagi.

Selain itu, mereka juga menyerahkan senjata serta peralatan mereka kepada Mujahidin.

(banan/arrahmah.com)

Mujahidin IIA memukul mundur pasukan boneka Afghan di Bala Baluk

Posted: 12 Jun 2015 01:00 AM PDT

talibann

AFGHANISTAN (Arrahmah.com) - Pasukan boneka Afghanistan di wilayah Dehzaki distrik Bala Baluk - area luas di distrik itu - melarikan diri dan meninggalkan pos besar mereka serta 4 pos pemeriksaan yang berdekatan karena takut dengan serangan Mujahidin Imarah Islam Afghanistan (IIA), lapor Voice of Jihad pada Rabu (10/6/2015).

Kawasan itu disusupi oleh Mujahidin beberapa hari sebelumnya di mana bentrokan pecah dengan pasukan musuh, menyebabkan kerugian mematikan bagi pasukan boneka Afghan sebelum Mujahidin melakukan penarikan taktis saat bala bantuan musuh tiba.

Setelah mengetahui bahwa mujahidin sedang mempersiapkan serangan lain, pasukan musuh pun melarikan diri pada pukul 11:00 pagi waktu setempat.

(banan/arrahmah.com)

Perjalanan panjang UU Perkawinan: Antara mengikat atau menceraikan agama dari negara

Posted: 12 Jun 2015 12:30 AM PDT

ilustrasi nikah beda agama (foto: Google)

Oleh Beggy Rizkiyansyah*

(Arrahmah.com) - Tarik-menarik dan kontroversi UU Perkawinan di Indonesia kembali riuh. Pengajuan judicial review UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi[1], sesungguhnya hanya membolak-balik lembaran sejarah UU Perkawinan itu sendiri. UU Perkawinan menjadi ajang tarik menarik antara umat Islam yang mendukung syariat Islam dan pendukung sekularisme. Keinginan untuk menyingkirkan aturan aturan Tuhan dalam undang-undang ditolak oleh umat Islam di Indonesia yang menginginkan negara belindung di bawah teduhnya aturan agama.

Sejak Indonesia belum, merdeka, pemerintah kolonial telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak. Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun dilain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI(Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers),dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.[2]

Perundangan lain yang berlaku sejak zaman kolonial adalah perundangan yang mengatur perkawinan campuran, yaitu Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), dalam staatsblad tahun 1898 no. 158 dan tahun 1904 no. 279. Perkawinan campuran yang dimaksud pada pasal 1 adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia, tunduk pada hukum yang berlainan. Hukum yang berlainan maksudnya adalah hukum adat yang beraneka ragam. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, pada pasal 7 ayat 2 dalam perundangan itu, juga disebutkan bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal tidak menjadi penghalang untuk perkawinan. [3] Mungkin inilah cikal bakal atau setidaknya inspirasi upaya untuk melegalkan pernikahan beda agama pada masa-masa berikutnya.

Perjalanan mengukuhkan UU Perkawinan di masa-masa berikutnya justru semakin terjal. Departemen Agama kerap berupaya mengajukan UU Perkawinan Islam, namun upaya ini selalu berbenturan dengan pihak nasionalis sekuler. Melalui Departemen Kehakiman, pihak nasionalis sekuler bersikukuh untuk mengusulkan satu hukum perkawinan tunggal yang berlaku untuk semua warga negara.

Tahun 1950, Menteri Agama saat itu, KH Wahid Hasyim membentuk sebuah Komite Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang disingkat NTR[4], yang dipimpin nasionalis Teuku M. Hasan.[5]Anggota komite itu terdiri dari beberapa muslim, pemeluk Protestan, dan Katolik serta aktivis perempuan. Tahun 1954, komite tersebut telah merampungkan RUU Perkawinan Peraturan Umum (1952) dan RUU Perkawinan Umat Islam. Namun RUU ini tidak sampai diberlakukan karena dipandang tidak memuaskan oleh Menteri Agama.[6] Sebaliknya Menteri Agama saat itu memberlakukan UU No. 22/1946 hingga dikukuhkan menjadi UU no. 35/1954.

RUU Perkawinan, diajukan kembali ke parlemen tahun 1958. Saat itu RUU Perkawinan Islam bersaing dengan RUU Perkawinan baru yang mencakup semua warga negara, tanpa memandang agamanya. RUU baru ini dsebut 'RUU Ny.Sumari'. Disebut demikian karena pengajuan RUU ini dipimpin oleh Ny.Sumari dari PNI. RUU inilah yang bersaing dengan RUU Perkawinan Islam 1954 (yang telah direvisi). Pembahasan RUU yang dimulai awal 1959 ini berlangsung sengit di Parlemen. Aktivis perempuan, Nani Soewondo, menyebutkan bahwa partai-partai Islam membela poligami, seakan-akan poligami adalah hal yang prinsip dari sebuah pernikahan. Bagi kubu partai Islam, persoalannya pembelaan poligami tak sekedar hal yang dibolehkan agama, tetapi lebih merupakan simbol pergulatan ideologis antara kubu Islam dan sekuler. Sebaliknya, Mujiburrahman dalam disertasinya di Leiden mengenai hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, menyebutkan pendapat Zaini Ahmad Noeh, bekas Pejabat Departemen Agama. Zaini Ahmad Noeh mengatakan RUU Ny.Sumari tidak menyebutkan sedikitpun Peradilan Islam atau Hakim Islam, tetapi hanya peradilan sipil. Artinya RUU Ny. Sumariini akan meniadakan peradilan Islam dalam persoalan perkawinan dalam Islam. [7] Pembahasan sengit ini merupakan dampak dari pergumulan panjang pembahasan dasar negara antara idelologi Islam melawan sekuler di Konstituante.Sebuah pergumulan dan pembahasan yang kemudian terhenti oleh konstalasi politik era Demokrasi Terpimpin.

Di bawah Rezim Orde Baru

Memasuki orde baru, tekanan politik terhadap umat islam tidak mereda, tetapi justru memasuki era baru. Pemerintah Orde Baru dibawah Suharto, setelah melibas elemen kiri, kini mengarahkan bidikan tekanannya kepada umat Islam. Pemerintah rezim Suharto kerap menekan dan mengekang gerak politik Islam. Penolakan berdirinya partai-partai berbasis Islam seperti Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang didirikan M. Hatta tahun 1966, serta kandasnya cita-cita merehabilitasi Masyumi di tahun 1967 amat memukul harapan umat Islam akan Pemerintahan Suharto di era Orde Baru. Tangan besi Orba tak hanya sampai disitu, setelah Parmusi sebagai partai Islam baru di terima keberadaannya tahun 1968, maka rezim Orba ikut campur tangan menolak kepemimpinan Moh. Roem (ex Masyumi) sebagai pemimpinnya.[8] Kemudian Ali Moertopo kembali merecoki kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo (ketua) dan Lukman Harun (Sekretaris) dengan menunjuk dengan Djaelani Naro dan Imran Kadir pemimpin baru Parmusi. Tekanan-tekanan juga diayunkan kepada basis Partai NU. Sulitnya mendapatkan izin berdakwah, tekanan aparat pemerintah pada pengurus partai Islam (terutama NU), hingga kebijakan massa mengambang menjelang Pemilu 1971, cukup memukul Partai NU[9]. Kebiijakan otoriter lain adalah dileburnya beberapa partai Islam oleh Suharto menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca pemilu tahun 1971. Tekanan lain adalah memanasnya hubungan umat Islam dengan umat Katolik dan Kristen akibat merebaknya kristenisasi. Umat Islam juga sering dituduh dengan berbagai isu seperti ekstrimis dan isu Komando Jihad. Pembredelan terhadap pers juga menghantui pers Islam, seperti yang terjadi pada Harian Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan NU. [10]

Masa itu, adalah masa dimana Rezim Suharto berbulan madu dan bermesraan dengan pihak Katolik. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani adalah orang-orang paling berpengaruh dalam lingkaran Soeharto. Kedekatan Ali Moertopo dan Heomardani dengan pihak Katolik, seperti Sofjan Wanandi, Harry Tjan Silalalhi, membuat mereka melangkah lebih jauh. Di tangan mereka CSIS (Centre for Strategic and International Studies)lahir. CSIS merupakan lembaga think-thank yang terinspirasi dari RAND Corporation.Maka perselingkuhan Golkar, Militer dan pihak katolik seperti CSIS membuat kebijakan Orde Baru sejalan dengan mereka.Kebijakan-kebijakan yang mendukung sekularisasi dan condong menekan umat Islam di Indonesia.[11]

Kartun di Majalah Media Dakwah No. 12, Agustus 1989 tentang RUU Peradilan Agama. Gambar diambil dari tesis Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia's New Order.

Kartun di Majalah Media Dakwah No. 12, Agustus 1989 tentang RUU Peradilan Agama. Gambar diambil dari tesis Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia's New Order.

Maka tidak mengherankan ketika perebutan pengukuhan UU Perkawinan turut menjadi ajang pertarungan. Hingga berakhirnya era Sukarno, Indonesia tidak memiliki Undang-Undang Perkawinan yang disahkan oleh parlemen. Tahun 1967, Departemen Agama mengajukan RUU Perkawinan Islam ke DPRGR. Di lain pihak, tanggal 7 September 1968, Departemen Kehakiman dengan bantuan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) juga mengajukan RUU Perkawinan ke DPRGR. Pada tanggal 22 Mei 1968, pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan Pernikahan Umat Islam untuk dibahas oleh DPRGR.[12]

Pertarungan diparlemen kembali terjadi. Kali ini dipihak yang mendukung sekularisasi UU Perkawinan dimotori oleh Harry Tjan Silalahi dari Partai Katolik. Partai Katolik menolak RUU Perkawinan Islam yang diajukan oleh Departemen Agama, karena RUU itu berlandaskan Piagam Jakarta. Harry Tjan dalam memorandum yang ditandatangani tanggal 1 Februari 1969, mengatakan bahwa mereka menolak RUU tersebut., karena jika menerima RUU itu, maka akan menggantikan Pancasila dengan Piagam Jakarta atau agama.[13] Pernyataan yang tentu saja menuai reaksi umat Islam. Namun, yang dapat direnungkan adalah, mengapa baru kali ini Partai Katolik bersuara paling lantang menolak RUU Perkawinan Islam, padahal polemik ini telah berlangsung lama? Mungkin, karena ini adalah masa-masa mereka begitu berpengaruh kepada penguasa rezim Orba.

Kontroversi RUU Perkawinan 1974

Pengaruh itu pula yang akhirnya memunculkan kembali kontroversi dahsyat melalui RUU Perkawinan pada tahun 1973.Bulan Juli 1973, Presiden Soharto, mengajukan RUU Perkawinan, dengan meniadakan RUU sebelumnya di tahun 1967 dan 1968. RUU baru ini langsung menimbulkan goncangan dahsyat di umat Islam.Ada banyak dugaan berkembang seputar pihak dibalik RUU ini. Kedekatan Ali Murtopo dengan CSISdipandang lebih dari cukup untuk membenarkan dugaan tersebut.

Beberapa poin yang menimbulkan masalah dalam RUU ini terletak pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi;"Perkawinan adalah sah bila dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang."[14]Pasal ini ditolak umat Islam Karena keabsahan perkawinan bukan tegantung kepada pegawai pemerintah. Pasal lain yang mengundang penolakan adalah Pasal 11 ayat 2, yang berbunyi: " Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, Negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan."[15] Pasal ini dipandang sebagai upaya untuk melegalkan pernikahan beda agama dan upaya pemurtadan umat Islam.

Beragam upaya dilakukan umat Islam untuk menyampaikan protes mereka, mulai dari menyurati pemerintah hingga aksi demonstrasi yang merebak hingga ke daerah. Protes mencapai puncaknya pada 27 September 1973, ketika Menteri Agama, Mukti Ali memberikan jawaban atas pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR atas RUU tersebut. Ketika ia hampir selesai berpidato, Sekumpulan mahasiswa Muslim berteriak dan memegang spanduk-spanduk protes bertuliskan 'RUU Perkawinan adalah konsep kafir' serta 'RUU Perkawinan adalah tidak bermoral.[16]'Ada pula terdengar tangisan sambil berkata Allahu Akbar.Menyadari situasi tak kondusif, Menteri Agama dan banyak anggota parlemen meninggalkan ruangan. Tak lama, sekitar 500 mahasiswa menduduki ruangan tersebut.

Aksi protes terhadap RUU Perkawinan ini juga datang dari para ulama, salah satunya Buya Hamka yang mengecam pengajuan RUU Perkawinan ini.Menurutnya,

"Inti Demokrasi yang memberi kesempatan luas bagi mayoritas, lalu si mayoritas memberikan peluang bagi minoritas, menjadi terbalk; si minoritas naik ke atas dan mayoritas dipersempit jalannya. Kalau mayoritas sadar akan haknya, lalu ia bersatu, maka diusahakanlah dengan berbagai jalan untuk memecahnya.[17]

Buya Hamka kemudian menjelaskan secara gamblang kelemahan kaum muslimin saat itu,


"Dalam saat-saat golongan lain melihat kulit luar, kaum muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, disaat itulah ditonjolkan orang suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, azas dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syariat agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali….,,Karena kalau RUU semacam itu hendak digolkan orang di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah-perkasaan mayoritas, dengan segala kerendahan hati inginlah kami kami memperingatkan, kaum muslimin tidak akan memberontak, tidak akan melawan, karena mereka terang-terangan lemah. Tetapi demi kesadaran beragama, undang-undang ini tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasa dirinya sebagai pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya kawin berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum muslim yang menjalankan undang-undang itu sebagai ganti rugi peraturan syariat Islam tentang perkawinan, berarti mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan yang demikian, kafirlah hukumnya."[18]

Pernyataan Buya Hamka tepat. Posisi kaum muslimin saat itu memang lemah.Di luar parlemen seringkali mengalami berbagai kesulitan menjalankan dakwah. Di dalam parlemen, Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) hanya menguasai 94 dari 460 kursi.[19] Jika diadakan pemungutan suara, jelas pihak Islam yang telah dilebur menjadi PPP akan kalah, mengingat Golkar, ABRI dan sebagian di PDI menyetujui RUU tersebut. Maka PPP terutama dimotori tokoh-tokoh NU, demi menolak RUU ini melakukan berbagai maneuver-manuver yang berani dibawah kepemimpinan KH Bisri Syansuri saat itu.

Pertarungan penentuan

Melihat kerasnya reaksi umat Islam, rezim Suharto mulai melunak dan bersedia untuk berkompromi. Namun bukan dalam parlemen melainkan diluar parlemen. Sejak Oktober 1973, Pemerintah, terutama melalui ABRI mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam, PPP. Termasuk dengan KH Bishri Syansuri.[20]

KH Bisri Syansuri adalah besan dari KH Hasyim Asy'ari. Beliau mertua dari KH Wahid Hasyim. Ia dikenal sebagai ulama yang keras dalam hal fiqih.Ia adalah benteng fiqih Nadhlatul Ulama saat itu. Para Jenderal seperti Soemitro, Daryatmo dan Soedomo mau tak mau harus berhadapan dengan KH Bishri Syansuri yang sudah sepuh namun tak mau berkompromi dalam hal fiqih. KH Bishri Syansuri mengumpulkan sembilan ulama besar di Jombang, dan membuat rancangan tandingan.[21] Antara lain yang berhasil dimenangkan dalam kompromi tersebut adalah;[22]

  • Perkawinan bagi orang muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil.
  • Pernikahan setelah kehamilan diluar nikah tidak diizinkan. Dalam arti anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan.
  • Pertunangan dilarang, karena dapat mendorong ke arah perzinahan. Pasal 13 RUU tersebut dihapus.
  • Pasal 11 yang menyebutkan perbedaan agama bukan halangan, dihapuskan.
  • Batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita dan 19 tahun, bukan 21 tahun bagi pria (pasal 7).
  • NU menolak larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai (pasal 10).

Pada akhir November ABRI dan para tokoh Islam telah menemui kesepakatan. Beberapa poin yang ditelurkan dari kompromi tersebut, yaitu; (1) Undang-Undang Perkawinan Islam tidak akan dikurangi atau diganti; (2) Peran Departemen Agama tidak akan dikurangi atau diganti; (3) Pasal dari Rancancang Undang-Undang yang bertentangan dengan hukum Islam akan di hapuskan; (4) Perceraian dan poligami akan diatur untuk menghindari kesewenang-wenangan; (5) Pasal 2 menjadi : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dengan kesepakatan ini pula UU Perkawinan menegaskan kekuasaan peradilan agama dan dengan demikian membuka pintu bagi pembuatan undang-undang khusus peradilan agama yang disahkan 15 tahun kemudian.[23]

Pembahasan selanjutnya selama 16 hari sidang di DPR sebagian besar tidak mengalami hambatan berarti. Golkar dan PDI akhirnya tidak bisa berbuat banyak menolak poin-poin yang sudah disepakati.[24] Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan keberhasilan umat Islam melakukan tekanan baik di parlemen maupun diluar parlemen. PPP sebagai partai Islam dibawah karisma dan keteguhan KH Bishri Syansuri sebagai Rais Am Majelis Syuro telah membuka mata pemerintah, betapa umat Islam tidak akan berkompromi dengan penggantian syariat Islam.

Mengetahui kompromi ini, pihak Kristen segera menyampaikan keberatannya. Tanggal 12 Desember 1973, Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) menyampaikan 'Pokok-Pokok Pemikiran BPH DGI dan MAWI'. Melalui keberatan ini mereka menekankan, "…dalam pembahasan RUUP sekarang, kami khawatir adanya kecenderungan bahwa Negara tidak hanya menjamin kebebasan agama, tetapi juga menimbulkan kesan akan mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum agama, paling sedikit waktu perkawinan."[25] Keberatan ini juga dimuat diharian Kompas yang dekat dengan Katolik dan Sinar Harapan, yang dekat dengan Protestan. Meskipun telah berupaya menggalang keberatan melalui organisasi agama dan media massa yang condong kepada mereka, namun upaya-upaya ini cenderung terlambat. RUU Perkawinan hasil kompromi tersebut diterima tanggal 22 Desember 1973 dan kemudian diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 menjadi UU No. 1 tahun 1974.[26]

Tak disangsikan lagi ini adalah keberhasilan dari pihak Islam berhasil melakukan tekanan baik didalam dan luar palemen, meskipun umat Islam saat itu, khususnya di lapangan politik sudah mengalami tekanan-tekanan yang hebat. Kegigihan serta kekuatan aqidah yang menghujam kedalam dada para ulama, membuat mereka menolak mentah-mentah pasal-pasal RUU Perkawinan yang menggadaikan agama tersebut.Namun penting kita meninjau dari situasi saat ini, bahwa polemik dan kontroversi seputar UU Perkawinan hanyalah salah satu pertarungan dari pergulatan lebih besar antara ideologi dan pandangan hidup Islam dengan sekular di Indonesia.

* Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Referensi

[1] Gugat UU ke MK, 5 Warga Negara Ingin Perkawinan Beda Agama Dilegalkan.http://news.detik.com/read/2014/09/04/160302/2681474/10/gugat-uu-ke-mk-5-warga-negara-ingin-perkawinan-beda-agama-dilegalkan. (diakses 18 September 2014)

[2] Mujiburrahman. 2006. Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia's New Order. Disertasi. ISIM Leiden.

[3] Aritonang, Jan S. 2004. Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia

[4] Ibid

[5] Mujiburrahman. 2006.

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Hakim, Sudarnoto Abdul. 1993. The Partai Persatuan Pembangunan: The Political Journey of Islam Under Indonesia's New Order (1973-1987). Tesis. Institute of Islamic Studies, McGill University.

[9] Feillard ,Andrée. 1995. NU vis-a-vis Negara: Pencarian isi bentuk dan makna. Yogyakarta: LKiS.

[10] Ibid

[11] Jenkins, David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim militer Indonesia 1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu.

[12] Mujiburrahman. 2006.

[13] Ibid

[14] Aritonang, Jan S. 2004.

[15] Ibid

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Hakim, Sudarnoto Abdul. 1993.

[20] Mujiburrahman. 2006.

[21] Feillard ,Andrée. 1995.

[22] Ibid

[23] Mujiburrahman. 2006.

[24] Feillard ,Andrée. 1995.

[25] Aritonang, Jan S. 2004.

[26] Ibid

(adibahasan/arrahmah.com)

Posisi umat Islam terhadap NKRI dan sikap intoleransi pemerintah terhadap umat Islam

Posted: 12 Jun 2015 12:00 AM PDT

Ummat Islam Indonesia sholat berjamaah di masjid Istiqlal.

Oleh: Harry Kurniawan, SH., MH*

(Arrahmah.com) - Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2010, populasi umat Islam menempati posisi tertinggi yakni sebanyak 87,2%, artinya Agama yang dianut oleh Bangsa Indonesia mayoritas adalah Islam. Selanjutnya, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah beragama Islam dan sebanyak 30 dari 34 Menteri Kabinet Kerja adalah beragama Islam. Fakta ini kembali membuktikan Agama Islam merupakan mayoritas dari sisi pemegang kekuasaan di Indonesia. Prof Graham Cinloch, sosiolog dari Florida State University sebagaimana dikutip oleh Rhudy LA Political Acience dalam Kelompok Sosial Mayoritas dan Minoritas berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memiliki derajat lebih tinggi.

Fakta menarik saat ini terjadi di Indonesia adalah justru sebaliknya, Islam yang menjadi agama dimana dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia tidak mengalami hal sebagaimana pendapat Kinloch, umat Islam di Indonesia dikebiri, dibuat tidak nyaman dan seterusnya. Banyak kasus diskriminasi terhadap umat Islam yang justru dilakukan oleh pemerintah (pejabat public) yang nota bene adalah orang Islam sendiri, mulai dari pelarangan takbir keliling yang sudah menjadi tradisi umat Islam khususnya di kota-kota besar, pelarangan penyembelihan hewan qurban pada saat perayaan Ibadah Idhul Adha, perubahan kebijakan pemakaian baju muslim pada hari Jum'at yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, perubahan kebijakan tata tertib berdoa dan salam di sekolah, pemblokiran situs-situs Islam atas permintaan BNPT, kasus penggunaan jilbab di lingkungan BUMN, penghapusan kolom agama, belum lagi penyematan teroris, radikal, dll serta yang paling 'teranyar' adalah keberatan Wakil Presiden atas pemutaran kaset pengajian sebelum subuh.

Kalau menengok sejarah, jasa pengorbanan dan perjuangan umat Islam untuk NKRI sangatlah besar. Bagaimana Bung Tomo memekikkan takbir demi mengobarkan semangat para pejuang kemerdekaan, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa jihad yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945 sehingga pecahlah perang di Surabaya pada 10 November 1945, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Islam yang ikut andil dalam pergerakan perjuangan sehingga berdirinya NKRI.

Umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia selalu 'ditodong' dengan kalimat toleransi, sehingga apapun persoalan yang menyangkut permasalahan antara umat Islam dengan minoritas selalu 'pisau' toleransi dikedepankan untuk 'membunuh' dan membungkam gerak Umat Islam, walaupun sebenarnya terdapat pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Penjagaan Umat Islam akan NKRI tidaklah diragukan sebagaimana pernah dilakukan oleh Ormas Islam di Banywangi pada 2010 silam yang membubarkan acara yang diduga Reuni Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jelas-jelas dilarang sebagaimana TAP MPRS XXV/1966.

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia terancam tersingkirkan dan tidak mendapat perlindungan atas kebijakan pemerintah dengan menyepakati dengan pemerintah Tiongkok dalam hal kerjasama pendatangan secara eksodus penduduk Tiongkok ke Indonesia. Pasalnya, sumber daya manusia Indonesia dengan Tiongkok tertinggal jauh tidak hanya dilihat dari segi pendidikannya, tetapi juga dari spirit membangunnya sebagaimana diutarakan Hery Winoto Tj. dalam Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia (Menghadapi Asean-China Free Trade Area) yang dirilis dalam Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 9, No. 3, September 2009.

Dari fakta yang disampaikan di atas, elemen bangsa harus segera melakukan upaya penyelamatan Negara yang merupakan anugerah Allah Yang Maha Kuasa dan pemerintah harus menjalankan perintah Konstitusi dimana dalamnya terdapat frasa "melindungi segenap bangsa Indonesia yang lagi-lagi notabenenya adalah Umat Islam dan memberikan kebebasan kepada Umat Islam untuk melakukan peribadatan sesuai dengan aturan dan ajarannya yang merupakan bentuk pengamalan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

*Advokat dan Sekjen SNH Advocacy Center

(*/arrahmah.com)

Pasukan Saudi bentrok dengan pemberontak Syiah Houtsi di sepanjang perbatasan Yaman

Posted: 11 Jun 2015 11:20 PM PDT

saudi-soldiers-in-drill-saudi-military

YAMAN (Arrahmah.com) - Pasukan Khusus Saudi terlibat dalam bentrokan dengan pemberontak Syiah Houtsi bersenjata di daerah perbatasan Khoba, Jabal Al-Dukhan dan Jabal Rumaih di Jizan, yang terletak di dekat perbatasan Kerajaan dengan Yaman, seorang koresponden Al-Jazeera melaporkan, sebagaimana dilansir MEMO pada Kamis (11/6/2015).

Koresponden itu juga mencatat bahwa pasukan Saudi berhasil menggagalkan pasukan Syiah Houtsi yang berusaha untuk menyusup perbatasan Saudi. Ia kemudian menambahkan bahwa bentrokan intermiten antara kedua belah pihak terus berlangsung sepanjang malam.

Helikopter-helikopter Apache melakukan operasi udara untuk menghentikan upaya penyusupan ke perbatasan Saudi dan membom klaster para pemberontak Houtsi bersenjata, katanya. Helikopter-helikopter itu juga melakukan operasi penyisiran di sisi barat pegunungan yang memisahkan kedua negara yang berdekatan dengan Jizan.

Sejumlah rudal dan roket RPG menargetkan daerah sekitar situs militer Saudi di Jizan, sementara sejumlah roket Katyusha ditembakkan di Jizan, menargetkan daerah pemukiman di pusat kota.

Koalisi Pembaharuan Harapan mengumumkan pada Senin (8/6) bahwa dua tentara Saudi terbunuh di Asir, di selatan Arab Saudi. Mereka meninggal akibat rudal yang ditembakkan dari Yaman. Ini terjadi dua hari setelah mereka mengumumkan kematian empat pejabat militer Saudi selama upaya pasukan Saudi menghadapi serangan besar-besaran yang diluncurkan oleh pasukan yang setia kepada mantan Presiden Ali Abdullah Saleh dan pasukan Syiah Houtsi di situs militer di Najran dan Jizan.

(banan/arrahmah.com)

Mahasiswa Fakultas Teknik UNY ciptakan alat pemungut sampah di sungai

Posted: 11 Jun 2015 10:45 PM PDT

Inttopes, alat pembersih sampah di sungai buatan mahasiswa UNY

YOGYAKARTA (Arrahmah.com) - Manusia senantiasa merusak bumi, sampai-sampai sampah pun dibiarkan menggunung di sungai. Hal tersebut tidak saja mengganggu sanitasi lingkungan, namun juga menyebabkan pencemaran yang merusak kesehatan dan mengakibatkan banjir.

Penanganan sampah di sungai yang kurang maksimal oleh pemerintah ini mendorong empat mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, yaitu Slamet Riyanto, Robertus Kurnianto, Herdyanta Septian Putra, dan Febrian Erwin mengembangkan Rancang Bangun Inntopes, atau Innovation Tools Pengangkat Sampah.

Kepada Viva, Kamis (4/6/2015), Slamet Riyanto, ketua kelompok, menjelaskan bahwa alat Inntopes didesain untuk mengangkut sampah yang terdapat di aliran sungai dengan menggunakan sistem konveyor. Inntopes bekerja secara otomatis, dengan menggunakan bantuan sensor-sensor yang digunakan untuk mendeteksi sampah.

Cara kerjanya, menurut Slamet, tumpukan sampah pada sungai akan diangkut menuju ke atas dan dipindahkan ke bak sampah yang terletak di tepi sungai sehingga akan mempermudah petugas sampah untuk mengangkutnya.

"Alat ini terdiri dari beberapa komponen utama, seperti bak penampungan sampah, motor listrik sebagai penggerak, serta pengendalian berbasis 'mikrokontroller' serta baterai," ujarnya.

Ia menambahkan, alat tersebut telah diuji coba di Desa Babrik, Kelurahan Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, dan mendapat sambutan baik dari petani yang menggarap sawah di sekitar sungai, karena alat ini dapat mengurangi tingkat polusi.

"Dari uji coba yang dilakukan, sensor alat ini dapat bekerja ketika sampah sudah tertahan pada ruji-ruji, namun terkadang garpu pengangkutnya tersangkut dengan ruji-ruji, sehingga alat akan terhambat. Maka dari itu, pada bagian tersebut perlu beberapa penyempurnaan," tuturnya.

Selain itu, menurut Slamet, konveyor bekerja dengan baik untuk mengarahkan sampah ke bak penampungan. Inilah yang membuat hasil temuannya dianggap cukup efektif dan berbiaya produksi murah. (adibahasan/arrahmah.com)

Berpenduduk 99,9 persen Muslim, warga tolak rencana pembangunan gereja di Parongpong, Bandung

Posted: 11 Jun 2015 10:12 PM PDT

Spanduk penolakan warga Dusun 4 terhadap rencana pembangunan gereja Katolik di Parongpong, Kabupaten Bandung

BANDUNG (Arrahmah.com) - Warga Muslim Dusun 4 yang terdiri dari RW 16,17,18 & 19 menolak pembangunan gereja yang letaknya berdekatan dengan pemukiman mereka yang 99,9 persen Muslim.

Rencananya orang Katolik Kabupaten Bandung Barat-Jabar akan membangun Paroki yaitu sebuah gereja dibawah ke-uskupan Bandung, letaknya di kawasan komplek Pondok hijau indah desa Ciwaruga kec. Parongpong, diatas tanah 3 hektar.

Spontan rencana tersebut diprotes warga Muslim Dusun 4 yang terdiri dari RW 16,17,18 & 19 yang letaknya berdekatan dengan rencana pembangunan gereja tersebut. Aplikasi penolakan diwujudkan dengan memasang spanduk penolakan ditanah yang akan dibangun gereja dan membuat pernyataan penolakan yang ditanda tangan seluruh warga Muslim.

Pernyataan tersebut diserahkan warga ke MUI desa Ciwariga, Senin (7/6/2015) di kantor desa Ciwaruga dan ditembuskan ke kepala desa, camat dan KUA.
Menurut Ustadz Aji Baroji ketua MUI desa Ciwaruga, gerakan penolakan ini sangat tepat karena wilayah tersebut berpenduduk 99,9% Muslim yg 0,1% agama lain tapi bukan katolik saja, mungkin katoliknya hanya 2 atau 3 orang. Hal ini melanggar peraturan bersama menteri (PBM) no. 9 dan 8 th 2006.

Ketua Gerakan Pagar Aqidah (GARDAH) Jawa Barat Suryana Nurfatwa menyampaikan bahwa penolakan warga Muslim dimana-mana bukan berdasar sentimen atau arogansi mayoritas kepada minoritas tetapi itu berdasar kepada aturan yg dibuat oleh negara atas kesepakatan semua tokoh agama yg resmi dinegeri ini yakni PBM, demi menjaga kerukunan ummat beragama, terus mengapa warga Muslim protes karena pihak tertentu mendirikan rumah ibadat melanggar PBM, dan yang harus lebih marah adalah pemerintah karena aturannya dilanggar.

Sayangnya PBM tidak ada sanksi hukum jadi para pelanggar semakin marak dan karena tidak ada sanksi hukum dan kadang pemerintah juga tidak cepat tanggap maka masyarakat akhirnya melakukan sanksi sosial dalam bentuk demo dan aksi lainnya sehingga kesannya seperti kaum Muslimin atau pergerakan Islam yang dipandang anarkis atau merusak kerukunan ummat beragama. Padahal yang salah adalah mengapa hal kerukunan umat beragama yang didalamnya mengatur pendirian rumah ibadat diatur oleh peraturan menteri dan UU namanya peraturan menteri tidak ada sanksi hukum, seharusnya diatur oleh Undang-undang sehingga jelas sanksi hukumnya. (azmuttaqin/arrahmah.com)