Kehidupan di kamp pengungsi Zaatari, Yordania semakin sulit bagi 130.000 pengungsi Suriah, yang sebagian besar telah melarikan diri dari pertempuran di Suriah selatan.
Pihak keamanan semakin sulit untuk mengontrol di kamp pengungsi yang penuh sesak ini, sementara para pengungsi jugamenjadi korban bagi orang-orang yang berkuasa untuk mencoba mencari nafkah.
Awal bulan ini , massa pengungsi yang marah menyerang polisi Yordania dengan batu, mendorong polisi untuk menembakkan gas air mata. Dalam bentrokan itu dilaporkan seorang pengungsi tewas dan 28 polisi terluka.
Seperti dikutip dari todayzaman, Ahad, (27/04), protes itu dipicu setelah polisi menahan sebuah keluarga pengungsi dan seorang sopir yang mencoba menyelundupkan mereka keluar dari kamp. PBB mengatakan khawatir akan “sifat kekerasan” aksi demonstrasi itu.
Sejumlah warga pengungsi yang frustrasi dengan keadaan kamp Zaatari, kini pergi untuk mendirikan kamp-kamp baru di lahan terbuka secara ilegal, untuk menghindari ketegangan.
Di antara mereka adalah Abu Hassan, seorang ayah dari 12 anak yang telah kehilangan salah satu anaknya dalam perang di Suriah. Dia mengatakan dia tidak bisa mentolerir kekerasan di kamp Zaatari dan mengkhawatirkan anak-anaknya – yang salah satunya telah terluka akibat luka pecahan peluru di kaki kirinya.
Abu Hassan lari dari kamp Zaatari dan menetap bersama keluarganya di pinggiran Amman, sekitar 70 kilometer ke arah selatan dari Zaatari. Di sana, ia bergabung dengan orang lain yang telah mendirikan kamp di samping sebuah pabrik plastik dengan harapan mendapatkan pekerjaan.
Pemukiman ilegal tidak diakui oleh pemerintah Yordania, tetapi karena semakin hari semakin banyak kamp-kamp pengungsi dibangun di seluruh penjuru negeri, hanya sedikit yang bisa dilakukan pemerintah untuk membongkar mereka.
Kamp Abu Hassan memiliki kurang dari 100 tenda, beberapa dari mereka menggunakan tenda UNHCR dari kamp Zaatari sementara tenda lainnya yang terbuat dari karung beras dan karung tepung karung. Lokasi tersebut tidak memiliki akses listrik dan tidak ada air. Aktivis datang untuk menyumbangkan air, dan penduduk setempat memberi aliran listrik dari pabrik atau pasar sayur yang terletak tak jauh dari kamp tersebut.
Abu Hassan, yang tak mau menyebutkan nama aslinya ini, mengatakan bahwa ia bekerja di pabrik selama beberapa waktu, namun pemilik pabrik takut mendapatkan kesulitan dengan pemerintah jika terus membantu Abu Hassan.
Untuk saat ini, Abu Hassan mengirimkan anak-anaknya untuk menjual dan bekerja di pasar sayuran, yang tidak jauh dari pemukiman warga untuk sekedar bertahan hidup.
Pihak keamanan semakin sulit untuk mengontrol di kamp pengungsi yang penuh sesak ini, sementara para pengungsi jugamenjadi korban bagi orang-orang yang berkuasa untuk mencoba mencari nafkah.
Awal bulan ini , massa pengungsi yang marah menyerang polisi Yordania dengan batu, mendorong polisi untuk menembakkan gas air mata. Dalam bentrokan itu dilaporkan seorang pengungsi tewas dan 28 polisi terluka.
Seperti dikutip dari todayzaman, Ahad, (27/04), protes itu dipicu setelah polisi menahan sebuah keluarga pengungsi dan seorang sopir yang mencoba menyelundupkan mereka keluar dari kamp. PBB mengatakan khawatir akan “sifat kekerasan” aksi demonstrasi itu.
Sejumlah warga pengungsi yang frustrasi dengan keadaan kamp Zaatari, kini pergi untuk mendirikan kamp-kamp baru di lahan terbuka secara ilegal, untuk menghindari ketegangan.
Di antara mereka adalah Abu Hassan, seorang ayah dari 12 anak yang telah kehilangan salah satu anaknya dalam perang di Suriah. Dia mengatakan dia tidak bisa mentolerir kekerasan di kamp Zaatari dan mengkhawatirkan anak-anaknya – yang salah satunya telah terluka akibat luka pecahan peluru di kaki kirinya.
Abu Hassan lari dari kamp Zaatari dan menetap bersama keluarganya di pinggiran Amman, sekitar 70 kilometer ke arah selatan dari Zaatari. Di sana, ia bergabung dengan orang lain yang telah mendirikan kamp di samping sebuah pabrik plastik dengan harapan mendapatkan pekerjaan.
Pemukiman ilegal tidak diakui oleh pemerintah Yordania, tetapi karena semakin hari semakin banyak kamp-kamp pengungsi dibangun di seluruh penjuru negeri, hanya sedikit yang bisa dilakukan pemerintah untuk membongkar mereka.
Kamp Abu Hassan memiliki kurang dari 100 tenda, beberapa dari mereka menggunakan tenda UNHCR dari kamp Zaatari sementara tenda lainnya yang terbuat dari karung beras dan karung tepung karung. Lokasi tersebut tidak memiliki akses listrik dan tidak ada air. Aktivis datang untuk menyumbangkan air, dan penduduk setempat memberi aliran listrik dari pabrik atau pasar sayur yang terletak tak jauh dari kamp tersebut.
Abu Hassan, yang tak mau menyebutkan nama aslinya ini, mengatakan bahwa ia bekerja di pabrik selama beberapa waktu, namun pemilik pabrik takut mendapatkan kesulitan dengan pemerintah jika terus membantu Abu Hassan.
Untuk saat ini, Abu Hassan mengirimkan anak-anaknya untuk menjual dan bekerja di pasar sayuran, yang tidak jauh dari pemukiman warga untuk sekedar bertahan hidup.